Selasa, 29 November 2011

A Journey Through Aru Islands




Pantai Longgar
Kepulauan Aru, dari namanya kita bisa sedikit membayangkan betapa laut berkuasa disana dan menjadi akses penting dalam sistem transportasi disana. Ada lebih dari 700 pulau besar kecil di kabupaten ini dengan 119 desa tersebar di pulau-pulaunya. Kalau dilihat di peta, mayoritas pulau-pulau tersebut tampak berkumpul menjadi satu dan hanya dipisahkan oleh sungai-sungai sempit yang membelah dari barat ke timur. Kenyataannya itu bukan sungai, namun selat karena celah itu berisi air asin dengan hamparan bakau sepanjang aliran sungainya. Mayoritas desa-desa di Aru terletak di tepi laut atau selat tersebut dan membuat kapal dan speedboat menjadi alat transportasi utama di Kabupaten ini.

Kota Dobo terletak di Pulau Wamar (sebuah pulau kecil di utara Aru).
Aku bertugas selama 1,5 tahun sebagai dokter Puskesmas Longgar-Apara terletak di Desa Longgar yang berada di Pulau Workai di tenggara Aru. Apara adalah desa tetangga Longgar. Letaknya yang bersebelahan  membuat kedua desa ini selalu disebut bersamaan : Longgar-Apara. Perlu berjalanan selama 14 jam dari Dobo untuk mencapai Longgar. 



Perjalanan dari Dobo menuju desa Longgar-Apara bukanlah sesuatu yang singkat dan menyenangkan. Perjalanan kadang memakan waktu sekitar 14 jam menggunakan perahu kayu dan kadang diselingi dengan bermalam di tengah-tengah perjalanan apabila perahu kandas dalam perjalanan melewati selat sempit antar pulau atau terjadi kerusakan mesin.

Perjalanan akan diawali dengan rute Dobo-Benjina selama 3 jam. Benjina adalah "Kota" terbesar kedua di Aru, terletak di Muara Sungai (Selat) dan merupakan tempat kapal-kapal pencari ikan bersandar. Rute pertama ini cukup berbahaya untuk dilewati saat angin barat bertiup (Desember-Maret). Ombak di daerah  ini terkenal sering memakan korban bila sedang musimnya, namun akan teduh dan menyenangkan saat angin Timur bertiup (Mei-Oktober). 

Patung Yos Sudarso di Dobo
Pesisir sebelah barat Kepulauan Aru berkarakteristik pantai berpasir putih. Berbeda hal nya dengan pesisir timur dan bagian tengah yang umumnya berawa-rawa. Selama 3 jam perjalanan dari Dobo ke Benjina kita akan melihat desa-desa berpasir putih tersebar di pesisir pantai barat Aru dan Pulau Babi yang menjadi titik menyendiri yang muncul di tengah laut dan menjadi acuan navigasi. 
Lobster, Salah satu hasil laut dari Desa Tabarfane di Pesisir Barat Aru
Pantai Pulau Babi
Pulau Babi
Setelah melewati Benjina pemandangan akan berubah. Hamparan hutan bakau berderet bagai sabuk yang tak terputus sampai kita keluar di muara selat di sisi lainnya di daerah Koba. Perjalanan selama kurang lebih 6 jam membelah pulau disuguhi dengan hijaunya hutan bakau, pulau-pulau kecil di tengah sungai, buaya yang sedang berjemur di batu.  Hutan Bakau dan Hutan di Aru menjadi rumah bagi Rusa, Babi Hutan, Kasuari, Kanguru, Ayam hutan dan beragam burung dengan cendrawasih sebagai primadona nya.
Burung Cendrawasih
Dari tampilannya secara fisik, selat-selat ini memang menyerupai sungai. Namun air di celah ini asin. Ada 4 selat sempit utama di Aru dan semuanya membelah sempurna menghubungkan sisi barat dan timur Aru. 4 Selat itu adalah Sungai Kola di daerah utara, Sungai Manumbai (yang terpanjang), Sungai Workai (sungai yang kulalui untuk menuju Longgar-Apara) dan Sungai Maekor. Ada juga sungai Lorang yang menghubungkan Sungai Maekor dan Workai.

Gereja di Desa Lorang
Selat-selat sempit ini menjadi suatu kekhasan bagi Aru dan menjadi solusi untuk menghubungkan pesisir barat dan timur. Selat ini berarus dan memerlukan pangemudi yang handal untuk bisa lolos dari jebakan seperti kandas, menghindar dari batu besar di dasar sungai dan tersesat. Dari Benjina kita akan melewati Batu Bendera (salah satu titik acuan navigasi) dan desa-desa sepanjang aliran sungai seperti Wardakau, Lorang, Manjau, Kwarbola, Murai, Ponom dan lainnya. Keseluruhan desa tersebut terletak di tepi Sungai Workai. Bila telah melewati Ponom, maka selat sempit tersebut akan melebar dan pulau-pulau di bagian tenggara Aru yang berhambur mulai bisa terlihat karena kita telah berada di pesisir timur Kepulauan Aru. 

Desa-desa di muara sungai Workai bagian Timur merupakan desa penghasil udang (desa Ponom, Wailay, Kaiwabar, Kwarbola, Murai, dll). Pada bulan-bulan tertentu udang akan melimpah ruah memenuhi sungai ini. Hal ini wajar mengingat masih terjaganya hutan bakau sepanjang sungai yang berfungsi sebagai tempat udang berkembang biak. Udang Tiger dan jenis lainnya dapat diperoleh dengan mudah tanpa ditambak. Stok yang melimpah membuat Dobo kebanjiran udang kering ukuran besar pada waktu-waktu tertentu.

Setelah melewati muara sungai, perjalanan dilanjutkan ke Arah Koba. Perahu akan melewati celah sempit serupa gerbang dengan dua desa berhadapan : Desa Kobadangar dan Koba Seltimur. Dari kejauhan kita bisa melihat menara gereja di Koba Seltimur berhadapan dengan kubah Mesjid di Kobadangar. Banyak peternakan rumput laut disini. harus hati-hati jika melewati daerah ini agar baling-baling kapal tidak memotong tali pengikat rumput laut.

Kobadangar terletak di Pulau Baun. Terdapat area konservasi di Pulau Baun untuk melindungi burung-burung cendrawasih dan hewan-hewan liar agar tetap terjaga dan seimbang.  Cendrawasih di Aru terkenal dengan warna bulu ekornya yang kuning cerah dan konon lebih cantik tampilannya daripaada Cendrawasih di Papua. Cendrawasih ini digunakan sebagai hiasan kepala pada upacara-upacara adat dan penyambutan tamu kehormatan. Sayang memang, burung cantik yang dilindungi ini memang masih terus diburu.

Setelah melewati Koba kita akan melihat Pulau Workai. Ada 4 Desa di Pulau Workai ini yaitu Mesiang, Longgar, Apara dan Bemun (3 desa terakhir merupakan wilayah kerja Puskesmasku). Longgar, Apara dan Bemun terletak di Selatan Pulau Workai, Sedang Mesiang terletak berhadapan dengan Gomo-gomo di Utara Pulau Workai. Mesiang memiliki Puskesmas sendiri, namun aku cukup sering mengunjunginya karena teman dekatku yang bertugas disana.


Puskesmas Mesiang
UKS di Desa Bemun
Puskesmas Longgar-Apara
Longgar dan Apara berdiri di tepi tebing-tebing karang berwarna putih, Longgar-Apara merupakan Desa terbesar di Wilayah Selatan Aru dan merupakan kota dagang bagi wilayah sekitar. Rumput laut, sirip hiu, teripang, mutiara, ikan segar, Kopra, merupakan penggerak roda perekonomian disini. Pada musim tertentu, nelayan dari Karey dan Gomar datang ke Longgar untuk membawa Abalone  (sejenis tiram yang bernilai ekonomis tinggi)
Kerang Mutiara, salah satu hasil laut andalan Longgar-Apara
Foto Bersama ibu Kader Posyandu Desa Longgar di Depan Puskesmas
Selain sebagai pusat perdagangan, desa dengan penduduk 3000an jiwa ini (Longgar dan Apara) merupakan pusat pemerintahan Kecamatan Aru Tengah Selatan. Terdapat 1 SMP, 2 SD di desa ini, 1 Puskesmas Rawat Jalan, 2 Gereja dan 2 Mesjid di Longgar dan Apara. Mendengar nama kedua desa ini sangat berarti bagiku, karena selama menjadi dokter disana aku belajar banyak tentang Manajemen Kesehatan (karena aku menjadi kepala Puskesmas disana), Ilmu medis, persahabatan dan belajar tentang kehidupan.


Desa Apara
Related Article :
Longgar & Apara ; 2 desa di tepian Indonesia
Salarem, Grand Canyon nya Maluku
17 Agustus 2009
Hymn to the Sea and Sky

Selasa, 22 November 2011

Brunei Cuisine : Nasi Katok


Apabila anda berkesempatan pergi ke Brunei dan sempat berjalan-jalan disana, maka anda akan sering melihat rumah atau warung pinggir jalan memasang spanduk yang isinya kurang lebih sama : "Nasi Katok B$1". Tiga kata itu (Nasi, Katok dan 1 Dollar) merupakan pasangan dan aturan baku dalam "periklanan nasi katok" hahaha. Selebihnya kata-kata lain divariasikan sesuka hati dalam spanduk mereka. 

Apa sih sebenarnya nasi Katok? Apa rasa makanan seharga 1 Dollar Brunei itu (Sekitar 7000 Rupiah), apa isi atau model makanan ini? akan kuuraikan kali ini salah satu makanan unik dari Negeri Jiran kita yang satu ini.

Nasi Katok adalah makanan yang sangat luas dikenal di Brunei, dengan harga yang relatif murah (karena rata-rata untuk sekali makan makanan sederhana di Mall menghabiskan 5 Dollar per menu) maka nasi katok bisa menjadi pilihan sebagai hidangan siap saji ala anak kos. Nasi katok adalah nasi bungkus (dengan porsi sedang) dan didalamnya berisi sepotong ayam yang dimasak dengan bumbu cabe giling yang sedikit manis, dilengkapi dengan sambal teri khas ditambah seiris ketimun (benar-benar hanya 1 iris). Soal rasa memang sedikit unik namun dijamin familier dengan selera orang Indonesia. Nasi Katok tampil dalam kemasan bungkusan kertas coklat berbentuk kerucut

Nama "katok" menurut cerita dari teman-teman Brunei ku berasal dari kata "ketuk".Makanan siap santap ini konon dahulu dijual pada malam hari, setiap orang yang ingin membeli nasi katok ini harus mengetuk pintu rumah penjualnya untuk mendapat nasi siap saji dalam kondisi hangat seharga 1 Dollar Brunei ini. Sejak saat itulah ia dinamai nasi katok dan menyebar ke seluruh Brunei dan menjadi salah satu makanan khas Brunei.

Makanan Brunei lainnya yang khas adalah Sup Hati Buyah (untuk ukuran harga 4 Dollar, aku anggap kurang worth it. Rasa makanannya pun standar. Sup hati buyah layaknya sup bening dengan sedikit rasa kaldu yang berisi sayur-sayuran (sawi, jagung muda) plus hati sapi.

Kalau mau yang unik nikmatilah Set Ambuyat, itu baru primadona kuliner Brunei, akan aku ceritakan pada artikelku selanjutnya.

Nasi Katok
Sup Hati Buyah dan Teh Tarik Halia
Related Article :
Vietnam's Food : Pho and Nom Bo Kho

Sabtu, 19 November 2011

Mansinam, Pulau Injil di Papua


Acem Akwei! (= Selamat Datang!)
Pulau Mansinam adalah pulau yang terletak di teluk Doreri, sebelah selatan kota Manokwari. Di Pulau tersebut terdapat makam dan monumen berbentuk Salib besar yang dapat terlihat bahkan dari Pantai Pasir Putih di pesisir Manokwari. Pulau ini merupakan salah satu tempat yang wajib anda kunjungi apabila anda berada di Manokwari (ibukota Papua Barat).


Kalau berbicara tentang sejarah Tanah Papua, maka Pulau Mansinam akan menjadi titik penting, karena menjadi asal-muasal pekerjaan zending (misi) di Tanah Papua. Di Pulau ini, tepatnya 5 Februari 1885, dua orang zendeling-werklieden (utusan tukang) dari Jerman, C.W. Ottow dan Johann Gottlob Geissler menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Papua.


Di bagian bawah kaki prasasti, hanya ada tulisan “Soli deo Gloria. De Eerste Zendelingen van Nederlandsch Nieuw Guinee C.W. Ottow En J.G. Geissler Zyn Hier Geland op 5-2-1855”. Di sisi tulisan ini, ada terjemahan dalam bahasa lokal. Artinya, kurang lebih, Zending pertama untuk Papua Ottow-Geissler tiba di sini 5 Februari 1855.



Setiap tahun tepatnya tanggal 5 Februari, umat Kristiani di Manokwari akan mengadakan Wisata Rohani di Pulau Mansinam untuk memperingati hari masuknya Misionaris tersebut ke Tanah Papua

Pulau ini dapat dicapai dengan menyebrang menggunakan perahu kecil bercadik (jonson) dari Pantai Pasir Putih selama 15 menit. Sebelum anda mencapai Mansinam anda akan melewati Pulau Lemon. Dua pulau ini memiliki terumbu karang yang indah. Saya tidak bersnorkeling saat itu melainkan hanya berenang di tepian pantainya namun tidak terlalu lama karena saya menyadari ada rasa perih seperti tertusuk jarum yang mungkin berasal dari sengatan ubur-ubur.

Untuk berenang, Pantai Pasir Putih merupakan pilihan yang sangat pas. Pasirnya benar-benar putih dan halus dan dipadukan dengan air laut yang berwarna biru kehijauan. Hal tersebut dijamin membuat kita tergoda untuk berenang, apalagi sebagian garis pantai tersebut terihat dari jalan raya secara langsung. Pantai di sini relatif tenang dan tidak berombak, namun sedikit curam. Dan pantai ini termasuk dalam daftar pantai terindah yang pernah kukunjungi.

Potensi Pariwisata di bagian Indonesia timur memang sangat luar biasa. Sangatlah mudah untuk mencari spot unik dan indah, yang diperlukan hanya promosi dan perbaikan sistem transportasi dan fasilitas di tempat wisata tersebut.

Pantai Pasir Putih, Manokwari
Menuju Mansinam menggunakan jonson
Pantai Pasir Putih, Manokwari


 

Jumat, 18 November 2011

Journey to Brunei


Tanggal 21 Oktober 2011 adalah pertama kalinya aku menginjakan kaki keluar dari Indonesia. Dan negara pertama yang mendaratkan stempelnya di pasporku adalah Brunei Darussalam. Agak unik memang, karena Singapura, Malaysia ataupun Thailand jauh lebih terkenal dan lazim dikunjungi dibanding negara jiran yang satu ini. Aku mendapat kesempatan untuk bekerja sebagai dokter di proyek Survey Migas dari BGP inc. CNPC yang lokasi kerjanya berada di West Jerudong. Aku tinggal di Kampung Kupang (sangat familiar dan menyenangkan mendengar kata Kupang) yang terletak di distrik Tutong.

Brunei terbagi menjadi 4 distrik, yaitu : Brunei-Muara, Tutong, Belait dan Temburong. Bandar Seri Begawan (BSB) terletak di Distrik Brunei Muara. Kota besar lainnya adalah Seria dan KB (alias Kuala Belait) di distrik Belait. Sedang distrik Temburong sepertinya cukup sepi karena hanya dihuni oleh 3% penduduk Brunei. Distrik Temburong dipisahkan oleh 3 distrik lainnya oleh Negara Bagian Serawak-Malaysia Timur.

Bandar Seri Begawan terkenal dengan mesjid-mesjid dengan kubah emas, layaknya di dongeng 1001 malam. Namun banyak yang salah duga tentang kota yang satu ini. Sebagai ibukota negara, bayanganku tentang BSB adalah kota metropolitan yang besar dan padat layaknya Singapura. Namun dengan pengandaian berikut ini maka kita akan mengerti : Jika Jakarta memiliki jumlah penduduk 9,5 juta; maka satu kota Jakarta dapat menampung 24 kali Brunei yang penduduknya hanya kurang dari 400 ribu jiwa. Sedang jumlah penduduk di BSB sendiri hanya 50 ribuan.

BSB memang kecil dalam jumlah penduduk, namun sentuhan metropolitan dan suasana ala kota besar dapat kita nikmati di beberapa sudut kotanya. Namun lupakanlah kalau kita ingin mencari tempat clubbing dan tempat hiburan malam disini, karena mereka menerapkan Syariat Islam dengan cukup ketat.





Warna emas adalah warna yang cukup sering muncul di kota ini, warna yang melambangkan kemakmuran negeri ini karena kekayaan migas yang menjadi penopang utama perekonomian negara kerajaan ini. Negara ini dipimpin oleh Sultan Hassanal Bolkiah yang gelar lengkap nya adalah : Sultan Haji Hassanal Bolkiah Mu'Izzaddin Waddaulah Ibni Al-Marhum Sultan Haji Omar 'Ali Saifuddien Sa'adul Khairi Waddien, Sultan dan Yang Di-Pertuan Negara Brunei Darussalam. Aku terkagum sewaktu Pak Hasni mengucapkan nama yang bak kereta api itu dengan spontan dan mengalir lancar dari mulutnya. Nampaknya tokoh Sultan sangat dihormati dan lekat di antara masyarakat Brunei.
Hari ini aku mengunjungi salah satu mesjid berkubah emas di Brunei yaitu Masjid Sultan Omar Ali Saifudin. Nama masjid ini berasal dari nama sultan yang memimpin Brunei sebelum Sultan Hassanal Bolkiah (yang merupakan ayahnya sendiri). Masjid ini menjadi unik dan menjadi landmark kota Bandar Seri Begawan berkat kubah-kubah emasnya dan adanya sebuah bangunan menyerupai perahu di kolam Masjid yang membuat nya tampil beda.

Bangunan ini selesai dibangun pada tahun 1958, Dengan warna dasar putih, dan memiliki pelataran bergaya Yunani kuno dengan adanya deretan pilar-pilar spiral ala kuil-kuil Yunani kuno.

Bagian dalam mesjid ini tidak kalah indah, aku berkesempatan masuk ke dalamnya, namun sayang tidak diijinkan untuk menggunakan kamera dalam Mesjid Omar Ali Saifudin. Lantainya dialasi karpet tebal dan terasa empuk diinjak dengan kaki telanjang. konon karpetnya made in Arab. Lampu-lampu kristal menggantung indah di atasnya dan memberi kesan mewah, terutama lampu kristal besar di bawah kubah emas utama. Pada bagian muka terdapat semacam panggung berbentuk rumah bergaya melayu (sepertinya tempat imam berceramah) dan penuh dengan ukiran.

Kampong Ayer, The Venice from the East
Di salah satu sisi mesjid ini terdapat kolam yang dibelah oleh dua buah jembatan. Salah satu jembatan menghubungkan mesjid dengan bangunan serupa perahu di tengah danau yang merupakan replika Perahu Mahligai Kerajaan milik Sultan Bolkiah yang memerintah pada abad ke-16. Satu jembatan lainnya menghubungkan mesjid dengan Kampong Ayer (kampung Air).

Pada Katalog Pariwisata Brunei tertulis bahwa Kampong Ayer dijuluki Venice from the East. Katanya ada sekitar 30.000 penduduk yang tinggal di Kawasan Kampong Ayer yang menjadikannya perkampungan terbesar di dunia yang dibangun di atas air. nampak sedikit kumuh memang, tapi pemerintah Brunei mencoba melestarikan Kampong Ayer ini dengan membangun fasilitas penunjang seperti sekolah, kantor polisi, rumah sakit dan akses terhadap listrik dan air bersih untuk penduduk Kampong Ayer. Kampong Ayer bisa jadi merupakan cikal bakal Bandar Seri Begawan, kota pelabuhan terbesar di pulau Kalimantan pada jamannya. (Bahkan bisa jadi kata Borneo berasal dari kata Barunai)

Cukup menarik untuk menjelajahi BSB yang bak "kota Aladdin" yang dipenuhi bangunan dengan atap atau kubah emas, seolah mereka ingin memamerkan kemakmuran negeri yang berpadu kontras dengan lebatnya hutan Kalimantan di sisi lainnya.


Masjid Omar Ali Saifudin dan Kampong Ayer
Related Articles :
Aerial Photography Part 5 : Bandar Seri Begawan
Brunei Cuisine : Ambuyat, Nasi Katok
Fakta Unik Tentang Brunei Darussalam

Minggu, 13 November 2011

Fatu Ulan - The Misty Land [Photo gallery]


Fatu Ulan, daerah perbukitan di Kabupaten Timor Tengah Selatan ini memiliki pemandangan layaknya negeri dongeng. Bukit-bukit yang menghijau disertai kabut yang hampir turun setiap hari, dijamin membuat kita takjub akan keindahan negeri kita Indonesia. 

Bagi anda pecinta petualangan, taruhlah nama daerah ini dalam list apabila anda mengunjungi pulau Timor di NTT. Cukup dengan duduk di tepi tebing batu, sambil memandang jauh ke arah padang rumput yang terhampar di bukit,  menyentuh awan, melihat rumah dengan atap rumbia berbaris di kiri kanan jalanan putih yang berkelok. Bagai terlempar ke gambar-gambar buku dongeng pengantar anak-anak terlelap. 

Fatu Ulan adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan yang beribukota di. So'e. So'e sendiri dapat diraih dari Kupang lewat jalur Trans Timor yang menghubungkan Kupang, So'e, Kefamenanu dan Atambua. Kondisi Jalan tersebut cukup baik dengan lama perjalanan 3 jam dari Kupang. So'e terkenal dengan udaranya yang sejuk dan jeruknya yang berwarna orange ala Sunkist. Selain Fatu Ulan, banyak objek wisata menarik lainnya sekitar So'e dan anda juga bisa belanja madu disini. Hotel dan penginapan tersedia di So'e.
Beberapa lokasi jalan yang rawan longsor

Dari So'e, kita masih perlu melanjutkan perjalanan darat selama kurang lebih 3 jam untuk menuju Fatu Ulan. ambil arah ke Niki-niki untuk kemudian berbelok ke arah Kie. Medan kali ini berupa jalan pegunungan yang  rawan longsor di beberapa titik. perlu mobil 4 WD untuk melewatinya. Fatu Ulan emang sulit diakses namun semua akan terbayar lunas ketika anda mulai memasuki Hutan Larangan (Entah mengapa penduduk lokal memanggilnya begitu). Kabut seolah-olah menjadi penguasa daerah tersebut dan enggan beranjak. Nikmatilah kompleks hutan lembab, padang rumput hijau dengan sapi dan kuda yang merumput disana, tebing dan jurang yang terjal, batu-batu putih yang tersusun sebagai pagar ternak, pohon yang meliuk ala bonsai dan selimut kabut yang menjadikannya SEMPURNA 






















Related articles :
Fatu'Ulan the Forbidden Misty Forest
Kolbano, the White Stone Beach
Aerial Photography Part 6 : Nusa Tenggara Timur
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...